Kisah Walisongo
Masjid Demak Sebelum Di Pugar
WALI SONGO
Walisongo atau Walisanga
dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14.
Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa
Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era
Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Budha - Hindu dalam budaya
Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah
simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak
tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar
dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat
para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Kisah Walisongo – Jika kita mempelajari sejarah penyebaran kebudayaan islam di nusantara khususnya pulau jawa, maka tidak lepas dari kisah-kisah para sembilan walisongo. Karena Walisongo
merupakan simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa.
Pada era tersebut, merupakan masa/era berakhirnya dominasi Hindu-Budha
dalam budaya nusantara yang kemudian digantikan dengan kebudayaan
islam. Pelopor atau Tokoh pendahulu walisongo yaitu Syekh Jumadil Qubro yang merupakan anak dari seorang Putri Kelantan Tua/Putri Saadong II yaitu Puteri Selindung Bulan.
Selain walisongo,
sebenarnya banyak tokoh-tokoh yang ikut berperan aktif dalam
penyebaran islam di nusantara, namun peranan walisongo sangat begitu
besar dibanding tokoh-tokoh yang lain, sehingga membuat para walisongo
memiliki nilai plus dan lebih banyak disebut namanya dalam sejarah
penyebaran islam di Jawa.
Dalam
kisah-kisah walisongo, disebutkan bahwa para sembilan wali tidak hidup
pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai
keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan
guru- murid. Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik
dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang
menempatkan diri sebagai ” tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan
Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga
Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa
yang dapat dipahami masyarakat Jawa – yakni nuansa Hindu dan Budha.
Untuk mempelajari secara lengkap tentang sejarah walisongo serta kisah-kisah para sembilan walisanga,
sengaja duniabaca.com kutip langsung dari wikipedia dan berbagai
sumber lain, sebagai penambah ilmu pengetahuan kita tentang dunia
sejarah.
Ada
beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang
sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga
dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga
berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat
lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti
tempat.
Pendapat
lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang
pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada
tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Saat itu, majelis dakwah Walisongo
beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali
Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad
Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra’il (dari Champa),
Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan
Syekh Subakir.
Dari nama para
Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal
sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
Syekh Maulana Malik Ibrahim – Dalam sejarah perwalian wali songo, Maulana Malik Ibrahim merupakan wali yang tertua dari Sembilan wali atau wali songo / wali sanga / wali 9.
Maulana Malik Ibrahim,
atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand,
Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma
menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap
As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana
Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian
rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana
Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri
(Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia,
bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana
Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein,
cucu Nabi Muhammad saw.
Maulana
Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga
belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang
memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan
Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup
menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik
Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa
versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah
yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih
berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah
daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas
pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara
membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga
murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri
untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia
pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa.
Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek
Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul
masyarakat bawah kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah
misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang
ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai
membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419
M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung
Gapura, Gresik, Jawa Timur.
2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
Profile Sunan Ampel – biografi sunan ampel – Sunan Ampel adalah Anak Maulana malik Ibrahim.yang tertua. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).
Beberapa versi
menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M
bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa,
mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang,
kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit
menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang
dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu
Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel
menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu
ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi
penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak
(25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel
turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula
yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja
Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di
Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit,
ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul
masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut
menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara
bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan
Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah
ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut
fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan
pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah.
Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh
maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak
minum minuman keras, tidak mencuri,
tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Drajat Nama kecilnya adalah Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M. Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam
pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya:
langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian,
cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan
Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di
antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan
pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang”. Sunan Drajat juga
dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok
pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir
miskin.
Kisah Perjalanan Hidup Sunan Drajat
Alkisah, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.
Alkisah, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.
Syahdan,
berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan.
Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam
ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat
dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut
dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.
Dengan
menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah
tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut
tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden
Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan
Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh
itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar
di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di
Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak,
Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren
tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelak,
yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang
menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar.
Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu
kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari
banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun,
Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya,
masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam.
Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala
itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan
berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.
Menurut
sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan
itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit.
Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah
pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya
membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas
petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi
perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai
Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat
tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan
ajaran Islam kepada penduduk.
Sunan
menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di
tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang
peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah
menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini
dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Sunan
Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan
kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui
perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana catur mungkur,”
demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang
menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan
memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan
cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan
menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid
atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu
masalah.
Cara keempat, melalui
kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang
pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran
agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan
dengan ajaran Islam.
Empat pokok
ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan
wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang
kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada
orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada
yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.
Sunan
Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari
perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi
dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah
pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil
berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.
”Berhentilah
bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada membujuk. Ia selalu
menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan
tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat
terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah,
misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu
perjalanan.
Ketika itu, Sunan
meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan
kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar
air bening –yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah,
Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah
dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu
Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.
Peristiwa
itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon,
istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung
Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim
ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif
Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di
kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi
‘’saling memuridkan”. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi
Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil
dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang
menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas
padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap
dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan
Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid
Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari
pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.
Anak
tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua
Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang
menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di
Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa
meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak
jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau
belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ”Duk
samana anglaksanani, mangkat sakulawarga….” Sewaktu diperintah Sunan
Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di
mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah
masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.
Beliau
wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan Jawa Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun Museum
yang menyimpan beberapa peninggalan di jaman Wali Sanga. Khususnya
peninggalan beliau di bidang kesenian.
4. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
Sunan Bonang Biografi- Menurut catatan sejarah, Sunan Bonang di perkirakan lahir tahun 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang adalah Anak Sunan Ampel yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Pada masa kecilnya, Sunan Bonang memiliki nama Raden Makdum Ibrahim.
Sunan
Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah
cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau
Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya
beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha.
Ia
kemudian menetap di Bonang – desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar
15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat
pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama
Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama
Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi.
Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya
untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit.
Ia
acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura
maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal.
Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah
sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.
Tak
seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang
memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks.
Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan
arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang
piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran
Sunan Bonang berintikan pada filsafat ‘cinta’(‘isyq). Sangat mirip
dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan
iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT
atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer
melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan
Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan
Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang
tamsil. Salah satunya adalah “Suluk Wijil” yang tampak dipengaruhi
kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya
banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah
pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi
serta Hamzah Fansuri.
Sunan
Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika
Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan
Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya
ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada
kehidupan transedental (alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah salah
satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang
adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah
menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah
perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan
antara nafi (peniadaan) dan ‘isbah (peneguhan)5. Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq
Profile biodata Sunan kudus. Pada usia anak-anak (masa kecil) Sunan kudus bernama Jaffar Shadiq. Ia adalah putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.
Sunan Kudus banyak
berguru pada Sunan Kali Jogo Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah
tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara
berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada
budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya
para wali yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas
masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus
mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol
Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk
menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan
jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu
waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan
tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama
Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan
sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan
Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai
sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk
menyembelih sapi.
Sunan Kudus
juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya
secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti
kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001
malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus
mengikat masyarakatnya.
Bukan
hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana
ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia
ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata,
bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
Kisah wali songo Sunan Giri – Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya, seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya
adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana
Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang
mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana
hingga ke Samudra Pasai.
Sunan
Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat
dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan
Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah
perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit
adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya
tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit,
namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -
konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh
menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden
Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak
sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut
tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh
Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan,
se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton
bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran
Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan
Amangkurat II pada Abad 18.
Para
santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke
berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate,
hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk
Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari
Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia
dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang
pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni
yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan
cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending
Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran
Islam.
7. Sunan Muria atau Raden Umar Said
Walisongo, Sunan Muria, profile sunan muria, sejarah sunan muria, kisah sunan muria – Ia putra Dewi Saroh – adik kandung Sunan Giri .sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijogo. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.
Gaya
berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun
berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah
sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama
Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya.
Sunan Muria
seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di
Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu
memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi
pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru.
Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus
dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan
Kinanti.
8. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Kisah Sunan Gunung Jati – Dalam Naskah Klayan hal. xxii Babad Cirebon, dikisahkan sunan gunung jati, bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, dan bertemu Rosulluloh Muhamad SAW, bertemu Nabi Khidir serta menerima wasiat Nabi Sulaeman yang semuanya itu tidak masuk akal. Namun dari kisah-kisah sunan gunung jati tersebut hanyalah sebagai isyarat kekaguman masyarakat saat itu pada sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan
lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri
dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan
Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim
dari Palestina.
Syarif
Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para
ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul
berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama
lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai
Kasultanan Pakungwati.
Dengan
demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang
memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya
sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir
Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam
berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia
juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa
jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama
putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan
ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan
sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal
bakal Kesultanan Banten.
Pada
usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya
menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean.
Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di
Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung
Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
9. Sunan Kalijogo atau Raden Said
Sunan Kalijaga, merupakan “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.
Nama kecil Sunan
Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan
seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden
Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga
yang disandangnya.
Masyarakat
Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di
Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat
erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan
kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau
“jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa
Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai ” penghulu suci”
kesultanan.
Masa
hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun.
Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir
1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga
Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan
Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang
pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal”
(pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah
kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam
dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat
dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis
salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih
kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia
sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan
menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara
bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan
jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka
ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia
menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai
sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg
maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat
kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid
diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode
dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk
Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran,
Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya).
Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
Para
Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada
masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi
peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam,
perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke
pemerintahan.
Menurut
buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Mohammad Dahlan,[1]
majelis dakwah yang secara umum dinamakan Walisongo, sebenarnya
terdiri dari beberapa angkatan. Para Walisongo tidak hidup pada saat
yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat,
baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan, maupun dalam hubungan
guru-murid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat, maka posisinya
digantikan oleh tokoh lainnya:
- Angkatan ke-1 (1404 – 1435 M), terdiri dari Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Maulana Malik Isra’il (wafat 1435), Maulana Muhammad Ali Akbar (wafat 1435), Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh Muhammad Al-Baqir.
- Angkatan ke-2 (1435 – 1463 M), terdiri dari Sunan Ampel yang tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq (wafat 1463), Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus yang tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il, Sunan Gunung Jati yang tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin (wafat 1462), Maulana ‘Aliyuddin (wafat 1462), dan Syekh Subakir (wafat 1463).
- Angkatan ke-3 (1463 – 1466 M), terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri yang tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465), Maulana Muhammad Al-Maghrabi (wafat 1465), Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang yang tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin, Sunan Derajat yang tahun 1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin, dan Sunan Kalijaga yang tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir.
- Angkatan ke-4 (1466 – 1513 M, terdiri dari Sunan Ampel (wafat 1481), Sunan Giri (wafat 1505), Raden Fattah yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra, Fathullah Khan (Falatehan) yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Kalijaga (wafat 1513).
- Angkatan ke-5 (1513 – 1533 M), terdiri dari Syekh Siti Jenar yang tahun 1481 menggantikan Sunan Ampel (wafat 1517), Raden Faqih Sunan Ampel II yang ahun 1505 menggantikan kakak iparnya Sunan Giri, Raden Fattah (wafat 1518), Fathullah Khan (Falatehan), Sunan Kudus (wafat 1550), Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang (wafat 1525), Sunan Derajat (wafat 1533), dan Sunan Muria yang tahun 1513 menggantikan ayahnya Sunan Kalijaga.
- Angkatan ke-6 (1533 – 1546 M), terdiri dari Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517 menggantikan ayahnya Syekh Siti Jenar, Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang tahun 1540 menggantikan kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II, Sultan Trenggana yang tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah, Fathullah Khan (wafat 1573), Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati (wafat 1569), Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525 menggantikan kakaknya Sunan Bonang, Sunan Pakuan yang tahun 1533 menggantikan ayahnya Sunan Derajat, dan Sunan Muria (wafat 1551).
- Angkatan ke-7 (1546- 1591 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599), Sunan Prapen yang tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak, Sunan Prawoto yang tahun 1546 menggantikan ayahnya Sultan Trenggana, Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan Gunung Jati, Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan, Sunan Cendana yang tahun 1570 menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan yang tahun 1551 menggantikan kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan Muria.
- Angkatan ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang menggantikan Sunan Sedayu (wafat 1599), Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan gurunya Sunan Prapen, Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun 1549 menggantikan Sultan Prawoto, Maulana Yusuf, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin, Syekh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650 menggantikan Sunan Mojoagung, Syekh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos).
Syekh
Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra bin Husain Jamaluddin
bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi
Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi
bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin
Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin
Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti
Nabi Muhammad Rasulullah Syekh Jumadil Qubro adalah putra Husain
Jamaluddin dari isterinya yang bernama Puteri Selindung Bulan (Putri
Saadong II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam
berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor
penyebaran Islam di tanah Jawa.
Makamnya
terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa
Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang
betul-betul merupakan kuburnya.
Walaupun
masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand
(Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya
tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh
daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum
Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad
Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa
Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
# L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien (1886)[5] mengatakan:
# L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien (1886)[5] mengatakan:
”Adapun
hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari
orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam
tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari
mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan
golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh
sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah
keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
# Van Den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya.”
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya.”
Pernyataan
van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad
spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau
Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan
saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang
bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri,
Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
#
Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab
Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat
(Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat
Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India
pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
#
Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi’i bercorak tasawuf dan
mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba &
Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan
lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar,
Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh
Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin
Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum
Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber
yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah
Islam yang menggabungkan fiqh Syafi’i dengan pengamalan tasawuf dan
pengutamaan Ahlul Bait.
# Di abad
ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden
Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar
tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar
Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar
Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang
anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13.
Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah
jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan
cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar,
Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Sejarawan
Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan
Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan
Tionghoa Indonesia. Pendapat tersebut mengundang reaksi keras
masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan
Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku
tersebut.
Referensi-referensi
yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan
Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial.
Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang
berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja
Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang
bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang
belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai
sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan
L.W.C. van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji
sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak
pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui
sangat detail dan banyak dijadikan referensi.
Salah
satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C.
Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th
Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan
pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan
bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat
ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan.
1.
Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo,
antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab
Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari
Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
2.
Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd
(meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah
perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957).
Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam
karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking
Hadramaut.
3. Dalam penulisan
sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh
Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, ‘Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan
Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat
pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri,
Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.
baca Kisahnya disini
http://ceritaislami.net/category/wali-songo/
http://kisah-kisahwalisongo.blogspot.com/
http://tokohsejarah.blogspot.com/2010/07/kumpulan-cerita-kisah-wali-songo-sunan.html
baca Kisahnya disini
http://ceritaislami.net/category/wali-songo/
http://kisah-kisahwalisongo.blogspot.com/
http://tokohsejarah.blogspot.com/2010/07/kumpulan-cerita-kisah-wali-songo-sunan.html