Kisah-Kisah para sufi
REPUBLIKA.CO.ID, Suatu hari ada seorang nelayan, yang terbiasa melaut
sendirian, menemukan sebuah botol kuningan dalam jalanya. Sumbat botol
itu terbuat dari timah.
Meskipun bentuknya agak berbeda dari
botol lain yang lazim dilihatnya, nelayan itu berpikir kalau-kalau botol
tersebut berisi sesuatu yang berharga. Lagipula, hari itu tangkapannya
jelek, paling tidak ia bisa menjual botol kuningan itu kepada pedagang
kuningan.
Botol itu tidak begitu besar. Pada lehernya, tergores
simbol aneh, Meterai Sulaiman, Raja dan Guru. Di dalam botol itu
terperangkap suatu jin yang menakutkan, dan Sulaiman sendiri telah
membuangnya ke laut agar manusia terlindung dari roh itu sampai saatnya
tiba ketika tampil seseorang yang bisa mengendalikannya, menempatkan jin
itu pada tugasnya sebagaimana semestinya, yaitu melayani manusia.
Tetapi,
nelayan itu tak mengetahui hal tersebut. Yang ia tahu adalah bahwa
botol itu bisa ia selidiki, dan mungkin akan mendatangkan keuntungan
bagi dirinya. Lupa akan petuah, 'Manusia hanya bisa mempergunakan
sesuatu yang ia ketahui penggunaannya,' nelayan itu menarik sumbat
timahnya.
Ia menelungkupkan botol itu, namun tampaknya kosong.
Lalu, ia meletakkan dan memandangi botol itu. Kemudian, terlihat suatu
gumpalan asap tipis, yang semakin pekat, membumbung naik dan membentuk
hantu raksasa dan seram, yang berseru dengan nyaring, "Aku Pemimpin
Bangsa Jin yang mengetahui rahasia peristiwa-peristiwa gaib. Aku
memberontak terhadap Sulaiman; dan ia mengurungku dalam botol laknat
ini. Nah, sekarang kau akan kubunuh!"
Nelayan itu ketakutan dan tersungkur di pasir sambil menangis, "Akan kau bunuh jugakah orang yang membebaskanmu?"
"Tentu
saja," kata jin itu, "Sebab berontak adalah sifatku, dan merusak adalah
keahlianku, meskipun kurungan itu telah menahanku ribuan tahun
lamanya."
Sekarang, nelayan itu menyadari bahwa, alih-alih
mendapat keuntungan dari tangkapan tak disangka itu, ia akan binasa
begitu saja tanpa alasan yang bisa dimaklumi. Ia memandangi meterai pada
sumpal botol itu, dan mendadak terpikir olehnya suatu ide. "Kau tak
mungkin muncul dari botol itu, botol itu terlalu kecil," katanya.
"Apa!
Kau meragukan ucapan Pemimpin Para Jin?" teriak bayangan itu. Dan, jin
itu pun mengubah dirinya menjadi gumpalan asap dan ia masuk kembali ke
dalam botol itu. Nelayan itu mengambil sumbat tadi dan memeteraikannya
pada botol itu. Kemudian, botol itu ia lemparkan jauh-jauh, ke kedalam
lautan.
Berpuluh-puluh tahun lewat, sampai suatu hari nelayan
lain, yaitu cucu nelayan pertama tadi, melabuhkan jalanya di tempat yang
sama, dan mendapati botol itu. Ia menaruh botol itu di pasir. Ketika
baru saja hendak membukanya, ia teringat akan nasihat ayahnya, yang
diturunkan dari kakeknya. Bunyi nasihat itu: 'Manusia hanya bisa
mempergunakan sesuatu yang ia ketahui penggunaannya'.
Dan tepat
pada saat itu, karena guncangan pada penjara logam itu, si jin terbangun
dari tidurnya, dan berseru, "Hai putra Adam, siapa pun kau, buka sumbat
botol ini dan bebaskan aku! Sebab Akulah Pemimpin Bangsa Jin yang
mengetahui rahasia peristiwa gaib."
Karena mengingat pesan
leluhurnya, nelayan muda itu pun meletakkan botol itu dengan hati-hati
di dalam sebuah gua. Lalu, ia mendaki bukit karang yang terjal di dekat
situ, mencari pondok seorang bijaksana.
Ia pun menceritakan
semuanya kepada orang bijaksana itu, yang berkata, "Pesan leluhurmu itu
benar adanya kau harus melakukannya sendiri, tetapi terlebih dahulu kau
harus memahami cara mempergunakannya."
"Tetapi, apa yang harus kulakukan?" tanya pemuda itu. "
Pasti ada sesuatu yang kau rasa ingin kau lakukan?" kata orang bijaksana itu.
"Aku
ingin membebaskan jin itu agar ia bisa memberiku pengetahuan ajaib atau
mungkin gunungan emas, dan lautan jamrud, dan semua pemberian lain yang
biasa diberikan oleh para jin."
"Harapanmu itu tidak akan
terjadi," kata sang guru, "Sebab ketika jin itu dibebaskan, ia mungkin
tidak akan mengabulkan keinginanmu itu atau mungkin ia akan
memberikannya tetapi mengambilnya kembali karena kau tak punya cara
untuk melindungi para jin, belum lagi petaka yang bisa saja menimpamu
ketika kau melakukan sesuatu serupa itu. Sebab, manusia hanya bisa
mempergunakan sesuatu yang ia ketahui penggunaannya."
"Kalau begitu, apa yang seharusnya kulakukan?'
"Mintalah
jin itu sebuah contoh pemberian yang bisa ia berikan. Mintalah cara
menjaga pemberian itu dan ujilah caranya. Mintalah pengetahuan, jangan
barang milik, sebab milik tanpa pengetahuan adalah sia-sia, dan itulah
penyebab semua kekhawatitan kita."
Sekarang, karena telah tepekur
dan waspada, pemuda itu bisa menyusun rencananya ketika ia kembali ke
gua tempat botol jin itu diletakkan. Ia pun mengetuk botol itu, dan
terdengar suara jin itu berkata, "Dalam nama Sulaiman yang Perkasa,
damai baginya, bebaskan aku, wahai putra Adam!"
"Aku tak percaya bahwa kau seperti yang kau akui, dan bahwa kau memiliki kuasa seperti yang kau katakan," jawab pemuda itu.
"Kau tak percaya? Tak tahukah kau bahwa aku tak bisa berbohong?" sahut jin itu.
"Tidak, aku tak percaya," kata nelayan itu.
"Lalu, bagaimana aku bisa meyakinkanmu?"
"Tunjukkan padaku kekuatanmu. Bisakah kau mempergunakan kuasa tertentu melewati dinding botol?"
"Ya, tetapi kekuatanku ini tak cukup kuat untuk membebaskan diriku."
"Baik sekali, kemudian kau juga harus memberiku kemampuan untuk mengetahui kebenaran tentang masalah yang ada di pikiranku."
Segera
saja, setelah jin itu menggunakan kemampuan gaibnya, nelayan itu pun
segera sadar akan sumber petuah tadi yang diwariskan oleh kakeknya. Ia
juga menyaksikan seluruh peristiwa pembebasan jin itu oleh kakeknya
berpuluh-puluh tahun silam; dan dilihatnya pula cara untuk menyampaikan
kepada orang lain tentang bagaimana memperoleh kemampuan serupa itu dari
para jin. Tetapi, ia pun menyadari bahwa tak ada lagi yang bisa
dilakukannya. Dan begitulah, si nelayan membawa botol itu dan, seperti
kakeknya, melemparnya kembali ke lautan.
Pemuda itu pun
menghabiskan sisa hidupnya bukan sebagai nelayan, tetapi sebagai orang
yang mencoba menjelaskan kepada orang lain, bahaya yang menimpa 'manusia
hanya bisa mempergunakan sesuatu yang ia ketahui penggunaannya'.
Namun,
karena sedikit orang yang pernah menemukan jin dalam botol, dan tak ada
orang bijaksana yang menasihati mereka dalam berbagai hal, penerus
nelayan itu memutarbalikkan apa yang mereka sebut 'ajarannya', dan
menirukan penjelasannya. Pada akhirnya, penyelewengan itu menjadi suatu
agama. Mereka terkadang minum dari botol-botol aneh yang disimpan di
dalam kuil-kuil mahal dan serba megah. Dan karena mereka mengagumi
kelakuan pemuda nelayan itu, mereka berusaha keras untuk menyamai
perbuatan dan sikapnya dalam segala hal.
Kini berabad-abad
kemudian, bagi para pengikut agama tersebut, botol itu tinggal lambang
suci dan menyisakan misteri. Mereka mencoba saling menyayangi hanya
karena mereka menyayangi nelayan itu. Dan di tempat nelayan itu mereka
menetap dan membangun sebuah gubug sederhana. Mereka memakai pakaian dan
perhiasan bagus-bagus, serta melakukan ritual yang rumit.
Mereka
tak tahu bahwa para pengikut orang bijaksana itu masih hidup, demikian
pula anak-cucu nelayan itu. Botol kuningan itu pun tetap tergeletak di
relung samudera dan jin itu tertidur di dalamnya.
Kisah ini,
dalam satu versi, sangat dikenal oleh para pembaca Arabian Nights.
Bentuk yang ditampilkan di sini menunjukkan pemanfaatannya oleh para
darwis. Perlu dicatat bahwa 'pengetahuan yang diperoleh dari jin' dalam
cara yang mirip dikatakan sebagai sumber dari kekuatan yang dimiliki
oleh Virgil yang Mempesona dari Abad Pertengahan, di Naples; dan juga
Gerbert, yang menjadi Paus Sylvester II pada tahun 999 SM.
SULTAN YANG MENJADI ORANG BUANGAN Seorang Sultan Mesir konon mengumpulkan orang orang terpelajar, dan-seperti biasanya--timbullah pertengkaran. Pokok masalahnya adalah Mikraj Nabi Muhammad. Dikatakan, pada kesempatan tersebut Nabi diambil dari tempat tidurnya, dibawa ke langit. Selama waktu itu ia menyaksikan sorga neraka, berbicara dengan Tuhan sembilan puluh ribu kali, mengalami pelbagai kejadian lain--dan dikembalikan ke kamarnya sementara tempat tidurnya masih hangat. Kendi air yang terguling karena tersentuh Nabi waktu berangkat, airnya masih belum habis ketika Nabi turun kembali. Beberapa orang berpendapat bahwa hal itu benar, sebab ukuran waktu disini dan di sana berbeda. Namun Sultan menganggapnya tidak masuk akal. Para ulama cendikia itu semuanya mengatakan bahwa segala hal bisa saja terjadi karena kehendak Tuhan. Hal itu tidak memuaskan raja. Berita perbedaan pendapat itu akhirnya didengar oleh Sufi Syeh Shahabuddin, yang segera saja menghadap raja. Sultan menunjukkan kerendahan hati terhadap sang guru yang berkata, "Saya bermaksud segera saja mengadakan pembuktian. Ketahuilah bahwa kedua tafsiran itu keliru, dan bahwa ada faktor-faktor yang bisa ditunjukkan, yang menjelaskan cerita itu tanpa harus mendasarkan pada perkiraan ngawur atau akal, yang dangkal dan terbatas." Di ruang pertemuan itu terdapat empat jendela. Sang Syeh memerintahkan agar yang sebuah dibuka. Sultan melihat keluar melalui jendela itu. Di pegunungan nunjauh disana terlihat olehnya sejumlah besar perajurit menyerang, bagaikan semut banyaknya, menuju ke istana. Sang Sultan sangat ketakutan. "Lupakan saja, tak ada apa-apa," kata Syeh itu. Ia menutup jendela itu lalu membukanya kembali. Kali ini tak ada seorang perajurit pun yang tampak. Ketika ia membuka jendela yang lain, kota yang di luar tampak terbakar. Sultan berteriak ketakutan. "Jangan bingung, Sultan; tak ada apa-apa," kata Syeh itu. Ketika pintu itu ditutup lalu dibuka kembali, tak ada api sama sekali. Ketika jendela ketiga dibuka, terlihat banjir besar mendekati istana. Kemudian ternyata lagi bahwa banjir itu tak ada. Jendela keempat dibuka, dan yang tampak bukan padang pasir seperti biasanya, tetapi sebuah taman firdaus. Dan setelah jendela tertutup lagi, lalu dibuka, pemandangan itu tak ada. Kemudian Syeh meminta seember air, dan meminta Sultan memasukkan kepalanya dalam air sesaat saja Segera setelah Sultan melakukan itu, ia merasa berada di sebuah pantai yang sepi, di tempat yang sama sekali tak dikenalnya, karena kekuatan gaib Syeh itu. Sultan marah sekali dan ingin membalas dendam. Segera saja Sultan bertemu dengan beberapa orang penebang kayu yang menanyakan siapa dirinya. Karena sulit menjelaskan siapa dia sebenarnya, Sultan mengatakan bahwa ia terdampar di pantai itu karena kapalnya pecah. Mereka memberinya pakaian, dan iapun berjalan ke sebuah kota. Di kota itu ada seorang tukang besi yang melihatnya gelandangan, dan bertanya siapa dia sebenarnya. Sultan menjawab bahwa ia seorang pedagang yang terdampar, hidupnya tergantung pada kebaikan hati penebang kayu, dan tanpa mata pencarian. Orang itu kemudian menjelaskan tentang kebiasaan kota tersebut. Semua pendatang baru boleh meminang wanita yang pertama ditemuinya, meninggalkan tempat mandi, dan dengan syarat si wanita itu harus menerimanya. Sultan itupun lalu pergi ke tempat mandi umum, dan di lihatnya seorang gadis cantik keluar dari tempat itu. Ia bertanya apa gadis itu sudah kawin: ternyata sudah. Jadi ia harus menanyakan yang berikutnya, yang wajahnya sangat buruk. Dan yang berikutnya lagi. Yang ke empat sungguh-sungguh molek. Katanya ia belum kawin, tetapi ditolaknya Sultan karena tubuh dan bajunya yang tak karuan. Tiba-tiba ada seorang lelaki berdiri didepan Sultan katanya, "Aku disuruh ke mari menjemput seorang yang kusut di sini. Ayo, ikut aku." Sultanpun mengikuti pelayan itu, dan dibawa kesebuah rumah yang sangat indah. Ia pun duduk di salah satu ruangannya yang megah berjam-jam lamanya. Akhirnya empat wanita cantik dan berpakaian indah-indah masuk, mengantarkan wanita kelima yang lebih cantik lagi. Sultan mengenal wanita itu sebagai wanita terakhir yang ditemuinya di rumah mandi umum tadi. Wanita itu memberinya selamat datang dan mengatakan bahwa ia telah bergegas pulang untuk menyiapkan kedatangannya, dan bahwa penolakannya tadi itu sebenarnya sekedar merupakan basa-basi saja, yang dilakukan oleh setiap wanita apabila berada di jalan. Kemudian menyusul makanan yang lezat. Jubah yang sangat indah disiapkan untuk Sultan, dan musik yang merdu pun diperdengarkan. Sultan tinggal selama tujuh tahun bersama istrinya itu: sampai ia menghambur-hamburkan habis warisan istrinya. Kemudian wanita itu mengatakan bahwa kini Sultanlah yang harus menanggung hidup keduanya bersama ketujuh anaknya. Ingat pada sahabatnya yang pertama di kota itu, Sultan pun kembali menemui tukang besi untuk meminta nasehat. Karena Sultan tidak memiliki kemampuan apapun untuk bekerja, ia disarankan pergi ke pasar menjadi kuli. Dalam sehari, meskipun ia telah mengangkat beban yang sangat berat, ia hanya bisa mendapatkan sepersepuluh dari uang yang dibutuhkannya untuk menghidupi keluarganya. Hari berikutnya Sultan pergi ke pantai, dan ia sampai di tempat pertama kali dulu ia muncul di sini, tujuh tahun yang lalu. Ia pun memutuskan untuk sembahyang, dan mengambil air wudhu: dan pada saat itu pula mendadak ia berada kembali di istananya, bersama-sama dengan Syeh itu dan segenap pegawai keratonnya. "Tujuh tahun dalam pengasingan, hai orang jahat" teriak Sultan. "Tujuh tahun, menghidupi keluarga, dan harus menjadi kuli: Apakah kau tidak takut kepada Tuhan, Sang Maha Kuasa, hingga berani melakukan hal itu terhadapku?" "Tetapi kejadian itu hanya sesaat," kata guru Sufi tersebut, "yakin waktu Baginda mencelupkan wajah ke air itu." Para pegawai keraton membenarkan hal itu. Sultan sama sekali tidak bisa mempercayai sepatah katapun. Ia segera saja memerintahkan memenggal kepala Syeh itu. Karena merasa bahwa hal itu akan terjadi? Syeh pun menunjukkan kemampuannya dalam Ilmu Gaib (Ilm el-Ghaibat). Iapun segera lenyap dari istana tiba-tiba berada di Damaskus, yang jaraknya berhari-hari dari istana itu. Dari kota itu ia menulis surat kepada Sultan: "Tujuh tahun berlalu bagi tuan, seperti yang telah tuan rasakan sendiri; padahal hanya sesaat saja wajah tuan tercelup di air. Hal tersebut terjadi karena adanya kekuatan-kekuatan tertentu, yang hanya dimaksudkan untuk membuktikan apa yang bisa terjadi. Bukankah menurut kisah itu, tempat tidur Nabi masih hangat dan kendi air itu belum habis isinya? Yang penting bukanlah terjadi atau tidaknya peristiwa itu. Segalanya mungkin terjadi. Namun, yang penting adalah makna kenyataan itu. Dalam hal tuan, tak ada makna sama sekali. Dalam hal Nabi, peristiwa itu mengandung makna." Catatan Dinyatakan, setiap ayat dalam Quran memiliki tujuh arti, masing-masing sesuai untuk keadaan pcmbaca atau pendengarnya. Kisah ini, seperti macam lain yang banyak beredar di kalangan Sufi, menekankan nasehat Muhammad, "Berbicaralah kepada setiap orang sesuai dengan taraf pemahamannya." Metode Sufi, menurut Ibrahim Khawas, adalah: "Tunjukkan hal yang tak diketahui sesuai dengan cara-cara yang 'diketahui' khalayak." Versi ini berasal dari naskah bernama Hu-Nama "Buku Hu" dalam kumpulan Nawab Sardhana, bertahun 1596. ------------------------------------------------------------ K I S A H - K I S A H S U F I Kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau oleh Idries Shah (terjemahan: Sapardi Djoko Damono) Penerbit: Pustaka Firdaus, 1984 |
bisa dibaca dsni
http://kisahsufi.wordpress.com/
http://sufimuda.net/tag/cerita-sufi/
http://media.isnet.org/sufi/Idries/kbps/toc.html